Orang-orang spesial: para pembuka jalan...
Kemarin saat seleksi wawancara beasiswa LPDP di Medan, saya sempat melihat-lihat berkas milik beberapa peserta, termasuk letter of acceptance yang mereka dapatkan. Di LoA biasanya sudah tercantum berapa biaya yang harus mereka bayarkan untuk bersekolah di universitas tersebut. Saat melihat angkanya….wuedyan tenan…ada yang hampir mencapai Rp 500 jeti per tahunnya. Saya membayangkan, jika uang itu dibelikan kacang rebus semuanya, mungkin bisa untuk mereklamasi pantai Jakarta. Saya juga membandingkannya dengan SPP di UGM yang cuma 5%nya saja (itupun sudah menyebabkan demo mahasiswa).
Anyway, saya tidak ingin membahas tentang reklamasi atau demo karena SPP. Saya hanya memikirkan, betapa spesialnya anda, para penerima beasiswa tersebut. Untuk sekolah master 2 tahun, negara mengeluarkan uang sebesar hampir Rp 1 M. Dan siapapun yang memenuhi syarat berkesempatan untuk meraihnya. Luar biasa memang investasi bagi anda.
Negara tidak menganggap uang Rp 1 M (atau Rp 1,5 M kalau sekolah S3) itu sebagai “hutang” bagi penerimanya. Uang itu dianggap “hilang”, artinya anda tidak akan dikejar-kejar untuk mengembalikannya setelah lulus nanti. Ya karena niat negara adalah menyekolahkan anda. Meskipun demikian, tetap saja negara mengharapkan sesuatu dari anda. Sesuatu yang tidak berbentuk finansial dan tidak diminta sekarang, tapi sangat penting bagi bangsa Indonesia: kontribusi yang membawa dampak yang signifikan.
Apa itu dampak yang signifikan? Gampangnya, dampak (positif) yang bisa dirasakan oleh orang banyak, bukan hanya untuk diri anda sendiri. Sekolah itu untuk menuntut ilmu, jadi kontribusi yang diharapkan adalah bagaimana ilmu yang diperoleh bisa diaktualisasikan dan diaplikasikan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Jadi mestinya inilah yang harus selalu diingat: anda punya misi “belajar demi kemanfaatan bagi bangsa”. Ini yang membedakan antara anda dengan mereka yang kuliah dengan biaya sendiri.
Tapi tunggu dulu…kalau hanya diminta “berkontribusi bagi bangsa” saja sepertinya sudah kuno. Sejak jaman saya sekolah dulupun harapannya sudah seperti itu. “Kamu sekolah di luar negeri, cari ilmu sebanyak-banyaknya, setelah selesai pulanglah ke UGM lalu jadilah dosen yang baik dengan bekal ilmumu itu”, begitu kira-kira pesan yang saya peroleh dulu. Jadi saya hanya diminta membawa ilmu yang saya pelajari di luar negeri untuk digunakan di Indonesia. Itu saja intinya.
Kalau doktrin di atas dipakai di jaman sekarang, rugilah negara. Ilmu itu berkembang, dan di bidang-bidang tertentu, perkembangannya sangat pesat. Kalau seorang master atau doktor dari luar negeri pulang hari ini, dalam 5 tahun ke depan ilmu yang dibawanya mungkin sudah ketinggalan jaman. Dalam 5 tahun ke depan, kita hanya akan menjumpai “ampas” ilmu, bukan ilmu yang berdampak besar.
"Lalu apa yang harus anda bawa pulang setelah lulus dari sekolah di luar negeri itu? Jawabnya: sumberdaya (resources)."
Yang dibawa bukan hanya catatan kuliah, tesis, publikasi ilmiah, atau disertasi saja. Bawalah juga dosen, profesor, laboratorium, dan fasilitas-fasilitas lain yang dulu anda gunakan selama kuliah. Tentu saja maksudnya bukan secara harfiah, tapi lebih pada membuka akses bagi kita yang ada di Indonesia agar juga bisa menikmati apa yang dulu anda pernah nikmati. Agar mahasiswa di perguruan tinggi nasional juga bisa menikmati diajar oleh profesor-profesor yang keren ilmunya. Agar dosen-dosen juga suatu saat dapat merasakan bekerja di lab yang penuh peralatan canggih, meskipun cuma dalam rangka kunjungan singkat (short visit). Atau agar industri kecil kita bisa mendapatkan sentuhan teknologi maju dari mancanegara.
Dengan membuka akses, maka dampaknya akan luar biasa. Tiba-tiba saja banyak mahasiswa kita yang jadi mengerti ilmu baru. Tiba-tiba banyak dosen yang punya topik-topik penelitian bersama dan bisa mengajak mahasiswanya bergabung. Tiba-tiba industri kecil kita fasih berbicara teknologi maju. Tentu saja manfaatnya tidak berhenti sampai di sini. Terusannya panjang, trickle down effectnya besar. Dan jika critical mass-nya terbentuk, maka akan terjadi lompatan transformasi yang cukup signifikan dalam banyak sektor.
Kunci dalam membuka akses ini adalah networking. Jejaring (network) dapat dibangun dengan komunikasi yang baik, sehingga muncul kepercayaan dan saling membutuhkan. Jadi selama anda belajar di luar negeri, jangan hanya memikirkan kuliah saja. Bangunlah hubungan baik dengan dosen, pembimbing, pengelola laboratorium, dan pejabat-pejabat departemen/fakultas. Ini bukan tugas yang sulit, karena anda akan sering bertemu mereka. Jika bertemu mereka, promosikanlah Indonesia. Ajaklah mereka untuk bekerjasama dengan pihak-pihak di Indonesia. Ajaklah profesor anda atau dosen-dosen lain untuk berkunjung ke perguruan tinggi anda dan bujuk dia untuk mau berkolaborasi dengan dosen dan mahasiswa di Indonesia. Kalau sempat praktek kerja di industri di luar negeri, ajak mereka untuk ikut membantu industri kecil dengan program transfer teknologi. Banyak lagi peluang dan kesempatan yang bisa dimanfaatkan.
Intinya, sesuai dengan hukum ekonomi berbasis jejaring (network economy), jejaring adalah kunci menuju ke kemanfaatan yang besar.
Kira-kira maukah pihak-pihak di atas diajak untuk membantu kita? Saya yakin ada di antara mereka yang mau. Mengapa? Karena kadang-kadang mereka juga memerlukan kita. Para profesor geologi dan kegempaan di Jepang misalnya, mereka sangat senang diajak peneltian bersama di Indonesia karena Indonesia adalah salah satu “sarang gempa” yang sangat menarik untuk dipelajari. Jika elemen-elemen dalam sebuah network sudah “klik” satu sama lain, maka manfaat yang dibangkitkan akan menjadi luar biasa. Dan inilah yang diharapkan oleh negara dari para penerima beasiswa tersebut…
Intinya, tempatkanlah anda pada posisi hub (penghubung) untuk mengalirkan sumberdaya yang berharga tersebut ke Indonesia dan ditangkap oleh pihak-pihak kita. Dengan itulah anda berkontribusi. Begitu kerjasama-kerjasama mulai bermunculan dan berlanjut, maka kontribusi anda berpotensi untuk jauh melebihi investasi yang sudah dikeluarkan untuk anda.
Anda bukanlah mahasiswa biasa.
"Keutamaan anda adalah anda tidak belajar untuk diri anda sendiri, tapi untuk kepentingan masyarakat banyak...Terima kasih untuk kesediaannya menjadi pembuka jalan..."
[Tulisan ini didedikasikan untuk para penerima (dan calon penerima) beasiswa dengan biaya negara, di manapun anda berada]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar